Minggu, 29 Juni 2008

Bedah Strategi Loew dan Aragones

2008-06-29 14:32:12
Babak final Euro 2008 mempertemukan Jerman dan Spanyol. Duel di Ernst Happel Stadion, Senin dinihari (WIB) nanti, bisa dikatakan menjadi titik akhir tanpa kejutan. Baik Jerman maupun Spanyol memiliki kualitas dan memang pantas untuk memperebutkan trofi Henri Delaunay desain terbaru.
Di balik itu partai final Euro 2008 menjadi duel antara tim yang sangat kontras. Hal yang paling mendasar soal filosofi bermain. Jerman mengusung efektifitas, kekuatan dan tenaga yang terbalut satu dalam staying power. Pakem itu dihadapkan pada gaya Spanyol yang bermain mengalir dengan skill tinggi dan kreatifitas kolektif.
Jerman mengesampingkan sepakbola indah namun dengan daya pukul menakjubkan serta ditopang mentalitas juara. Sebaliknya, Spanyol yang lebih menarik ditonton memiliki kelemahan soal mental bertanding. Kalau sudah menemui tembok kokoh pertahanan menjadi goyah dan frustasi. Kontras gaya, pun demikian soal pelatih yang berdiri di balik layar. Joachim Loew, pelatih muda Jerman yang impresif dan ambisius versus Luis Aragones, pelatih gaek Spanyol yang berpengalaman dan namun sedikit kontroversial.
Membedah taktik yang akan digunakan kedua pelatih perkara sulit. Pastinya, baik Loew dan Aragones bakal memeras otak untuk memanfaatkan kelemahan tim lawan. Dari perspektif strategis partai final itu akan menarik untuk disimak. Loew, walau masih relatif muda, sudah menunjukkan kepiawaiannya di Austria-Swiss. Ditilik rata-rata, pelatih di Euro 2008 berumur 57 tahun. Loew, 48 tahun, merupakan empat pelatih di bawah usia 50 tahun, bersama Roberto Donadoni, Slaven Bilic dan Marco van Basten.
Loew yang memegang tongkat estafet dari Juergen Klinsmann sudah hapal betul skuadnya. Loew pelatih muda yang dinamis. Ia memulai turnamen ini dengan formasi ortodoks 4-4-2 namun saat melawan Portugal di perempat final ia menunjukkan kapabilitasnya dengan mengubahnya jadi 4-5-1. Michael Ballack, Bastian Schweinsteiger dan Lukas Podolski jadi lebih bebas berkreasi membantu serangan dan menerobos dari lini kedua. Miroslav Klose sebagai ujung tombak hanya sebagai perusak konsentrasi pertahanan lawan.
Aragones, biarpun tua, cukup lugas dalam menerapkan taktik. David Villa memperoleh hasil menakjubkan dimainkan bebas di belakang Fernando Torres yang berperan target-man. Villa memimpin perolehan gol terbanyak dengan empat gol. Ketika Villa cedera di babak semifinal, Aragones menunjukkan lagi kematangannya. Dibanding memasukkan striker, ia menyodorkan Cesc Fabregas.
Masuknya Fabregas membuat serangan Tim Matador lebih bervariasi. Gelandang Arsenal itu mengambil alih kendali di lini tengah yang begitu vital dari Rusia. Fabregas menghidupkan permainan dari belakang Torres bersama David Silva dan Andres Iniesta yang mengapit di kiri dan kanan. Rusia yang berani mengajak bermain terbuka kena batunya. Gawang Rusia dibobol tiga kali tanpa diberi kesempatan membalas.
Aragones yang berulang tahun ke-70 bulan depan sepertinya akan menurunkan sistem yang sama seperti menghadapi Rusia, khususnya di babak kedua. Tim Matador begitu ganas dengan menaikkan tempo. Tapi itu tidak akan mudah dilakukan di hadapan Jerman. Die Maanschaft bisa dibilang tim yang dikenal piawai mengatur tempo. Ballack, yang diragukan tampil di Wina, jagonya dalam hal ini. Pertarungan yang menarik pastinya.

Tidak ada komentar: